20 April 2009

Teka-teki dari Novel Down Live part 1

Down Live: Nana Van Naya[1]

Oleh. Dian T Indrawan


Sekitar 3 tahun Naya bergulat dengan depresi yang menyerangnya pasca melakukan aborsi. Banyak hal telah berubah dalam kesehariannya, baik secara fisik atau pun emosional. Kemunduran yang ia alami masih berkaitan erat dengan trauma aborsi yang membuatnya bangkrut secara finansial di samping rasa sakit yang berkepanjangan akibat aborsi yang tidak bersih.


Penyangkalan, akan rasa bersalah dan penyesalan telah menyeretnya pada sebuah keadaan di mana keadaan psikologis menjadi terpengaruh hingga titik di mana ia tak mampu bersosialisasi dengan baik dan tidak dapat melanjutkan hidup. Stress yang diakibatkan tindakan aborsi telah membuatnya menarik diri dari lingkungan di mana ia berada dan mengisolasi diri dari pergaulan, begitu pula dalam hal pekerjaan, saya tak mampu berkonsentrasi pada pekerjaan dikarenakan fikiran stress yang menyertainya.


Trauma aborsi tidak hanya merenggut janin Naya, namun telah merenggut harga diri dan kehidupannya sendiri. Perasaan kecil hati dan kemampuan untuk tidak mempercayai orang lain telah membuat saya tersisihkan dari lingkungan sosial. Dalam proses pemulihan, Naya mencoba mencari informasi sebanyak mungkin mengenai gejala-gejala yang terjadi pada keadaan psikologisnya, dan akhirnya Naya pun menemukan artikel mengenai “Post Abortion Syndrome” dari artikel itulah dia kemudian belajar untuk menganalisa permasalahannya yang bersumber dari trauma aborsi yang sedang ia hadapi. Naya merasakan kesulitan yang luar biasa dalam mencari bantuan, dikarenakan masih banyak orang yang masih awam dengan istilah “Post Abortion Syndrome”, bahkan berbagai informasi yang ia dapatkan semuanya tersedia dalam bahasa Inggris.


Informasi yang Naya peroleh dari berbagai media tersebut kemudian Naya terjemahkan ulang ke dalam bahasa Indonesia melalui salah satu blog pribadinya. Naya sendiri berharap blog pribadinya dapat menjadi media pendukung bagi semua orang yang juga mengalami kejadian yang sama dan menginginkan pemulihan bagi kehidupan yang lebih baik. Sesuatu yang membuat dia harus lama terpuruk dalam keadaan yang lemah adalah karena ketidakmampuan dirinya sendiri untuk dapat menerima kenyataan yang tak sesuai dengan harapannya. Terutama ketika dia tak lagi menjadi sempurna sebagai perempuan, Naya masih saja mengharapkan agar kejadian yang membuatnya seperti ini tidak pernah terjadi lagi.


Aku sendiri merasa salut terhadap Naya yang tetap berkeras hati untuk melampiaskan semua amarah dan rasa bersalah dengan menunjukkan jari pada seseorang yang ikut andil dalam proses tersebut. Aku tidak bisa melihat diri Naya sebagai faktor terbesar yang mempengaruhi semakin buruknya gejala psikologis Naya. Trauma akan tindakan aborsi yang menyakitkan telah membuatnya mengisolasi diri dan bertahan dengan melihat dirinya sendiri sebagai seorang perempuan yang telah gagal dalam mengjalani hidup. ”Dian, aku memandang bahwa perempuan adalah perpanjangan tangan Tuhan akan makhluk ciptaan-Nya di muka bumi, dan ketika perempuan telah memutus perpanjangan tangan tersebut maka ia telah gagal sebagai seorang manusia.” Jelasnya. Sangat miris mendengar pernyataan Naya itu. Dia merasa sangat putus asa tentang apa yang sedang ia alami.


Sekian lama aku sendiri telah memperhatikan kehidupan sehari-harinya begitu kecil di mata perempuan sebayanya dan bahkan di mata kaum ibu. Perasaan kecil inilah yang kemudian membuatnya merasa tak berharga dan tak punya arti akan menjalani hidup sebagai perempuan. Pikiran Naya menjadi begitu kosong dan hampa, dia menarik diri dari lingkungannya dan mengisolasi diri dalam gambaran dunia kecilnya. Sebagai seorang pria pun aku merasa sangat iba dengan keadaannya yang tidak dapat lagi melihat masa depannya dengan bentangan jalan yang luas. Dia telah merasa bahwa apapun yang ia lakukan akan tetap selalu gagal karena tak lagi punya arti di hadapan Tuhan. Perasaan berdosa telah menenggelamkannya dalam gambaran hampa bahwa apapun itu akan tetap gagal sebagai bentuk hukuman Tuhan terhadap diri Naya.


”Aku selalu bisa menerima keterpurukanku sebagai bayaran atas kesalahanku, dan begitu seterusnya aku merasa tak ada tempat bagi perempuan gagal seperti ku di mata-Nya. Karena tempat yang pantas akan kesalahan yang pernahku perbuat adalah seburuk-buruknya rasa sepi, Ian.” Jelasnya lagi sembari menangisi kisah yang terlalu pahit untuk dikupas lagi[2]. Naya menerima segala kejadian buruk itu sebagai kompensasi perasaan bersalahnya dan terus membiarkan dirinya menerima banyak kejadian buruk dengan berlapang dada. Aku merasa semakin iba ketika dirinya tidak melawan jikalau orang-orang di sekitarnya memberikan sikap yang kurang bersahabat karena ia merasa itulah yang pantas ’tuk didapatkan.


Naya sendiri tak merasa keberatan ketika kepercayaan keluarga dan orang-orang di sekitarnya semakin luntur, ia tetap merasa pantas akan semuanya. Seorang perempuan yang gagal tentunya patut mendapatkan hukuman dan keburukan yang setimpal. Begitu pun ketika aku melihat ketika kesempatan untuk perbaikan diri kepadanya datang, seringkali ia melewatkan begitu saja karena Naya masih merasa tak layak untuk mendapatkan kesempaatan untuk kedua kalinya. Dan hal terburuk dalam pikirannya sendiri adalah bahwa semakin banyak menerima keburukan maka akan setimpal dengan kesalahan yang dia lakukan hingga suatu saat nanti Tuhan akan benar-benar mengampuni dia. ”Nay, mengapa kamu menghakimi dirimu sendiri seperti itu, bukankah setiap manusia itu memiliki hak yang sama di mata Tuhan untuk mendapatkan kesempatan yang kedua?” Tanyaku kepada Naya sela-sela tangisnya yang begitu menyayat perasaan.


”Aku memang menghakimi diriku sendiri melebihi perempuan yang telah kotor dan yang dinistakan di mata Tuhan. Selama bertahun-tahun aku tetap memelihara amarah terhadap semua pria. Kebencian itu pulalah yang semakin membutakanku untuk melihat langkah ke depan yang semakin baik dan terbuka lebar untuk memulihkan diri. Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana air mataku akan habis dalam semalam setiap kali aku menemukan kesulitan, dan pada setiap saat itu pulalah aku membiarkan diriku menyalahkan seorang pria sebut saja dia Alex, dirinya adalah seorang pria atas semua kejadian yang menimpaku. Aku telah membiarkan Alex mejadi pengaruh yang besar dalam mengambil alih kuasa atas kehidupanku sendiri. Ketika segala sesuatunya berjalan baik maka aku akan puas seakan aku mampu menjadi pribadi yang kuat, akan tetapi aku sendiri tidak mampu menerima kenyataan bahwa aku betul-betul lemah hingga setiap kali hal buruk terjadi maka aku akan menjadikan Alex sebagai orang yang berhutang atas segala petaka yang terjadi dalam hidupku.” Cerita Naya kepadaku saat kami berjalan menuju salah satu rumah makan di bilangan jalan Parangtritis.


Tak hany itu, rasa sakit yang berkepanjangan akibat aborsi yang tidak bersih telah membuat Naya menderita dalam rasa sakit yang begitu luar biasa selama bertahun-tahun. Dua tahun pertama dia merasa telah dihantui perasaan bersalah dan mimpi buruk berkepanjangan yang merenggut tidur lelapnya. Sehingga rasa gelisah akan kondisi fisiknya terus datang mengganggu fikiran dan membuyarkan konsentrasi kehidupannya. ”Aku telah rugi secara fisik dan psikis, dan juga bangkrut secara finansial. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa segala sesuatunya harus ku tanggung sendiri, dan membiarkan Alex lepas dari tanggung jawabnya. Aku terus mengejarnya untuk ikut membayar semua penanggunganku, namun hasilnya tetap saja nihil, aku tidak mendapatkan apapun selain sikap diam dan penolakan.” Ungkap Naya sesekali menghisap sebatang rokoknya.


Rasa sakit itu telah membawanya pada titik di mana ia tidak dapat melihat apapun selain amarah. Aku marah pada Tuhan karena telah membiarkanku sendiri dan aku juga marah pada Alex yang telah lari dari tanggung jawab. Dia melemparkan semua kekecewaannya dengan memberikan penghakiman yang keji pada Alex. ”Dian, aku tak kan sudi melihatnya bahagia dan hidup tenang atas apa yang telah dilimpahkannya padaku. Aku telah menganggapnya sebagai pengecut dan laki-laki terendah yang tak punya perikemanusiaan. Aku menginginkannya terperosok pada kesulitan melebihi apa yang aku rasakan, dan berharap akan ada perempuan lain yang akan membalaskan semua dendam dan amarahku berlipat-lipat kali lebih besar dari yang aku alami.” Jelasnya dengan penuh kebencian.


”Nay, penghakiman itu adalah hak mutlak kuasa Tuhan, penghakiman manusia itu memiliki batas tertentu. Semua keadilan Tuhan itu tak dapat ditandingi oleh manusia.” Kataku kepada Naya sebagai sebuah nasihat.


Apa yang Naya rasakan kini sungguh luar biasa, ketika dia telah menyerahkan penghakiman pada kuasa-Nya, perlahan-lahan dirinya mulai merasakan kuasa Tuhan bekerja atas hidupnya. “Dian, aku melihat bagaimana bentangan jalanku terbuka lebar. Aku mulai bisa melihat sesuatu yang selama ini tak mampu kulihat tepat di hadapanku. Aku mulai melihat potensi dalam diriku kembali tumbuh, dan menyaksikan bagaimana Tuhan telah membuatku jauh lebih baik dan lebih matang dari sebelumnya. Perasaan kasih pun mulai kembali menjalari hatiku hingga aku pun bisa kembali merasakan empati pada orang lain di sekelilingku. Aku menemukan lingkungan baru di mana semua orang bisa melihat jauh ke dalam lubuk hatiku dan membantuku keluar dari kegelapan yang telah kuciptakan sendiri.” Ungkap Naya dengan sedikit senyuman yang mulai menghapus kesedihannya.


Aku sendiri mulai dapat melihat bahwa Naya sudah mulai membuka diri dan membiarkan orang-orang yang mengasihinya masuk ke dalam hatinya untuk mengulurkan tangan dan mengajakku melihat dunia luar yang sama sekali berbeda dari bayanganku selama ini. Ketika Naya telah melepaskan penghakiman, Naya menemukan bahwa ternyata dia jauh lebih baik tanpa penghakiman itu sendiri, ia pun mampu melihat dirinya dengan nyata dan utuh, mampu kembali meraih rasa percaya diri dan kemampuannya untuk kembali memulai hidup dan hubungan social yang baru dengan lingkungan sekitar. “Dian, aku pun mulai melihat Alex hanya sebagai bagian kecil dari hidupku dan tidak melihatnya lagi sebagai suatu ancaman yang menakutkan. Aku mampu mengenangnya dengan cara yang baik tanpa mengesampingkan emosi yang memenuhinya.” Jelasnya lagi.


“Lalu apa rencanamu selanjutnya ketika itu, Nay?” Tanyaku.

“Aku hanya butuh waktu sekitar 9 bulan sejak terjadinya proses aborsi hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk berpisah.” Jawabnya singkat.


Pada saat itu Naya merasa mungkin inilah keputusan yang terbaik bagi Naya dan Alex, terutama bagi Alex. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan pikiran serta konsentrasi Naya, akhirnya dia menyetujui kemauan Alex untuk putus. Pada saat memutuskan untuk berpisah, Alex berjanji akan membantunya dalam meyelesaikan hutang uang yang mereka pakai untuk prosedur aborsi. Memang, menjalani prosedur aborsi untuk mereka tidak hanya menyakitkan akan tetapi juga sangat memberatkan. Untuk ukuran mahasiswa seperti mereka uang sebesar 2.5 juta rupiah, bukanlah uang yang sedikit. Bahkan pada saat itu mereka tidak memilikinya sama sekali, sampai akhirnya Naya harus menjual handphone kesayangannya dan menggadai motor pemberian dari almarhum bapak Naya. Sedangkan Alex saat itu hanya memberinya beberapa ratus ribu rupiah, itu pun pinjaman dari seorang sahabatnya.


Uang pinjaman yang seharusnya mereka kembalikan dalam waktu yang begitu singkat itu terrnyata molor dari waktunya, hingga waktu yang telah kami janjikan ternyata kami tidak dapat membayarnya. Alhasil mereka tidak dapat membayar bunga yang melambung semakin tinggi setiap harinya. Untuk menutupinya, akhirnya mereka menjual motor itu kepada seorang teman untuk membayar hutang, Naya sendiri hanya mendapat sedikit sisa kembaliannya. Sejak saat itu Naya mulai berfikir untuk mencari cara memutar otak agar bisa mendapatkan motor baru agar keluarganya tidak mencurigainya.


Hal yang menenangkannya adalah pada saat itu Alex berjanji akan turut bertanggung jawab dengan membantuku mencari jalan keluar. Selain mengalami kebangkrutan, pada saat yang bersamaan Naya mulai merasakan nyeri di bagian bawah perut sebelah kanan. ”Dian, Aku tidak pernah menyangka bahwa ternyata rasa sakit tersebut merupakan efek aborsi yang tidak bersih. Tidak pernah terfikir olehku bahwa ternyata aborsi akan memberikan dampak yang berkelanjutan pada tubuhku. Tanpa sedikitpun rasa curiga, aku memeriksakan diri ke dokter dan dokter menyatakan bahwa aku menderita usus buntu, aku pun memaksa untuk di operasi namun dokter menolak dengan alasan menurutnya usus buntu ku belum terlalu parah dan masih bisa diobati dengan obat-obatan tanpa harus mengangkatnya. Namun karena rasa sakit yang terus menerus akhirnya aku meminta dokter di rumah sakit lain untuk melakukan operasi. Akhirnya aku menjalani operasi tersebut pada bulan juli 2004. Baru beberapa bulan kemudian aku sadar bahwa dokter tersebut benar, setelah menjalani operasi dengan 8 jahitan ternyata aku masih bisa merasakan sakit yang begitu luar biasa di bagian bawah perut kananku sama seperti sebelumnya dan rasa sakit itu selalu datang setiap minggunya. Saat itulah aku benar-benar menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku yang berhubungan dengan prosedur aborsi yang tidak bersih sebelumnya.” Jelasnya sembari memakan cemilan dihadapannya itu.


Pada 5 tahun yang lalu Naya resmi menjadi seorang lajang, bangkrut dan pesakitan. Di awal bulan february dia seharusnya mulai kembali ke bangku kuliah, namun pada akhirnya uang kuliah pun habis untuk membiayai pengobatan, hutang-hutangnya yang semakin banyak di mana-mana dan untuk membayarnya Naya pun harus berhutang lagi pada yang lain, begitu seterusnya. Terlilit hutang dan menahan rasa sakit yang datang bertubi-tubi akhirnya meruntuhkan kekuatannya. Kemudian Naya pun mulai mengalami depresi. Tak pernah satu malam pun dapat ia lewatkan tanpa pikiran yang kacau dan mimpi buruk. Terkadang secara tiba-tiba Naya menangis tanpa alasan bahkan tertawa miris ketika mengingat beban hidupnya yang semakin berat untuk dipikulnya sendiri. Sejak saat itulah Naya mulai mengalami insomnia, gelisah, mengigau, bermimpi buruk bahkan sering terbangun kaget, menangis atau berteriak dalam tidur.


Seperti apa yang telah dijanjikannya, Alex memang berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan ini, hanya saja ternyata ia hanya mencari jalan keluar untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan Naya. Alex mulai menghindar dan menjauhi Naya. Air mata dan merendahkan diri dengan memohon pun bahkan tak mendapat perhatian dari Alex sedikitpun. Tiba-tiba lelaki yang paling kupuja dan kuhormati ini berubah secara drastis, seakan aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Akhirnya Alex benar-benar keluar dari permasalahan ini dengan melarikan diri dengan sebuah kereta yang berangkat dari stasiun di Yogyakarta. Di suatu hari tepatnya 4 tahun silam. Sejak saat itu Naya tak pernah melihatnya lagi. Pada detik yang sama ketika kereta tersebut meninggalkan kota pelajar pada saat itulah lingkaran setan mulai menciptakan neraka untukku.


”Dian, aku sendiri tidak bisa menerima kenyataan bahwa segala sesuatunya harus kutanggung sendiri, dan membiarkan Alex lepas dari tanggung jawabnya. Aku terus mengejarnya untuk ikut membayar semua penanggunganku, namun hasilnya nihil, aku tidak mendapatkan apapun selain sikap diam dan penolakan. Jujur saja, awal putus dengan dia, aku merasa baik-baik saja. Meskipun pada saat itu kami putus namun aku tetap merasa bahwa kami memiliki perasaan yang sama kuat dan terikat, hanya saja situasi dan latar belakang personal kami yang berbeda yang membuat keadaannya menjadi sulit untuk bisa terus bersama. Tapi tidak pernah terfikirkan sedikit pun olehku bahwa kami akan menjadi lawan seperti ini. Meskipun tak lagi bersama namun pada saat itu aku memiliki rasa percaya dan hormat yang luar biasa besarnya pada Alex.” Jelas Naya kepadaku sembari melahap nasi goreng ijo favoritnya itu.


”Tapi apakah semua yang dilakukan oleh Alex itu jelas-jelas terlihat jika dia menunjukan sikap yang tidak menyenangkan bahkan tak bersahabat itu?” Tanyaku.


”Memang ketika aku mulai melihat Alex berubah dan jelas-jelas menunjukkan sikap yang menghindar, aku mulai ragu dan bertanya-tanya pada diri sendiri; apakah aku telah salah menilai seseorang? Di titik inilah aku mulai membenci laki-laki. Persepsiku tentang laki-laki serta merta seketika itu juga berubah. Jika seorang lelaki yang tadinya kuanggap kiriman bapakku dari surga saja bisa tiba-tiba berubah menjadi iblis. Apalagi laki-laki lain di luar sana? Aku sebagai perempuan merasa terdholimi oleh tindakan Alex. Aku merasa sebagai perempuan ternyata tak hanya harus menanggung rasa sakit di tubuh, namun juga cacat di jiwa dan hati. Dan laki-laki yang telah menindihiku dan menitipkan sperma di antara hangatnya liang vaginaku bisa melenggang pergi begitu saja meninggalkanku. Tak ada suatu cacat pun dibadan, tak ada rasa sakit yang tertinggal di tubuh, dan tak ada hutang yang membebani.” Jawabnya dengan sedikit emosi yang tiba-tiba datang kembali.


Rasa sakit secara fisik dan psikis yang di tambah luka hati yang dalam telah membawa Naya pada satu titik di mana ia tidak dapat melihat apapun selain amarah. Naya marah pada Tuhan karena telah membiarkannya sendiri dan juga marah pada Alex yang telah lari dari tanggung jawab. Dia melemparkan semua kekecewaannya itu dengan memberikan penghakiman yang keji pada Alex, serta takkan sudi melihat Alex bahagia dan hidup tenang atas apa yang telah dilimpahkan pada Naya. Naya telah menganggapnya sebagai pengecut dan laki-laki terendah yang tak punya perikemanusiaan. 4 Tahun yang lalu, Naya mulai mengawali petualangan yang penuh dengan kenistaan. Naya pun mulai mengibarkan bendera peperangan pada kaum lelaki.


”Nay, terus apa yang kamu lakukan pada kamu Adam lainnya itu? Apakah kamu balas dendam dengan penuh amarah yang ada?” Tanyaku.


”Begini Dian, aku melakukan balas dendam itu dengan dalih jika perempuan bisa dijadikan objek seks, kenapa laki-laki tidak? Akhirnya selama hampir setahunan kulampiaskan Amarahku itu pada kaum lelaki lewat seks. Menurutku itulah satu-satunya jalan yang bisa membuat mereka tampak begitu bodoh dan hina didepan mataku. Aku begitu menikmati ketika para lelaki ini tenggelam dalam permainan sandiwara ketidakberdayaan perempuan di atas pelukan mereka. Aku begitu puas melihat mereka merasa bangga dengan rintihan orgasme palsu yang memuja kejantanan mereka di atas ranjang, padahal sebenarnya mereka tak lebih seorang binatang yang dikendalikan oleh sepotong daging diantara selangkangan mereka.” Jelas Naya.


Memang jika keadaan itu aku yang mengalaminya pastinya aku sendiri akan melakukan hal yang sama seperti Naya. Saat itu memang Naya membutuhkan perhatian lebih akan keadaanya yang mulai kehilangan kewarasannya. Dia merasa tak lebih seperti binatang jalang yang ingin melepaskan dendamnya atas kaum lelaki. Tapi siapa pun yang merasa bahwa hidupnya tak berharga pasti akan melakukan apapun untuk memberinya kekuatan agar bisa bertahan hidup, meskipun harus menjadi gila. Trauma akan tindakan aborsi yang menyakitkan telah membuat Naya mengisolasi diri dan bertahan dengan melihat dirinya sendiri sebagai perempuan yang gagal dan seperti sampah. ”Dian, benar-benar aku tidak dapat lagi melihat masa depanku dengan bentangan jalan yang luas. Aku telah merasa bahwa apapun yang aku lakukan aku akan tetap selalu gagal dan perasaan berdosa telah menenggelamkanku dalam gambaran maya bahwa apapun itu aku akan tetap gagal sebagai bentuk hukuman Tuhan akan diriku.” Ungkapnya kepadaku dengan sedikit canda yang semakin rancu dan tak jelas itu.


Pada saat yang bersamaan, Naya pun bercerita bahwa semenjak awal tahun 2006 hubungannya dengan keluarga mulai merenggang. Naya selalu menghindari pertemuan keluarga, bahkan tak mau mengangkat telpon dari ibunya. Bukan karena membenci mereka, tapi semakin hari ia semakin frustasi dengan kebohongan-kebohongan sendiri, sekali berbohong maka kita akan menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan yang lama. Naya mulai lelah bersandiwara. Semakin sering ia berbohong semakin besar pula rasa bersalah dan frustasi yang ia rasakan. Satu-satunya cara untuk tidak berbohong adalah memutuskan hubungan komunikasi dengan mereka. Tak hanya keluarga, Naya pun mulai menjauh dan mengisolasi diri dari teman dan lingkungan. Dia tidak suka melihat kenyataan bahwa orang lain merasakan kebahagiaan sedangkan Naya semakin hari semakin terpuruk. Dia selalu mengindari pertanyaan tentang kuliahnya dan apa rencananya nanti, karena ia tak punya kehidupan yang bisa dibanggakan, tak punya harga diri yang bisa dipertahankan di depan orang lain. Meskipun mungkin mereka tak mengetahui akan tetapi pada saat itu Naya terlanjur merasa hancur dan buruk senista-nistanya. Dia benci melihat teman-temannya yang lulus kuliah dan mulai merencanakan masa depannya. Dia pun tidak sudi melihat orang lain bersuka cita sedangkan ia terus di rundung duka.


Naya yang dahulu penuh dengan keceriaan, menjadi pembenci terhadap apaun yang bersebrangan dengan dirinya, masalah yang terlalu rumit untuk dipikulnya sendiri pun menjadikannya pribadi yang negatif dan emosional.


---Perjuangan Naya berakhir (kalau pingin versi lengkap beli novelnya)---[3]



[1] Seorang pelaku aborsi.

[2] Di bagian ini saya selaku penulis tak bermaksud untuk mengupas ataupun menyayat luka lama Naya.

[3] Cerita ini memang kisah nyata dari perjuangan kaum perempuan yang menjadi korban kebiadaban seorang laki-laki yang lepas tanggungjawab atas perbuatannya itu. Jika dalam cerita ini ada kesamaan atau kemiripan jalan cerita dengan novel yang lebih dahulu terbit, itu hanyalah factor kebetulan semata.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
SPOT ABU-ABU - Free Blogger Templates, Free Wordpress Themes - by Templates para novo blogger HD TV Watch Shows Online. Unblock through myspace proxy unblock, Songs by Christian Guitar Chords