Oleh. Dian T Indrawan
Ada salah satu anggota masyarakat mengalami ketidakadilan dari sebuah lembaga. Mungkin bisa jadi ini adalah masalah prinsip keadilan dan ketidakadilan, antara kaya dan miskin, menyuap dan disuap. Ini menyebabkan masyarakat luas yang bertindak untuk mendukung adanya keadilan untuk korban dari para penegak ketidakadilan hukum. Kasus Prita adalah salah satu contoh dari banyak kasus ketidakadilan. Setelah pengadilan memutuskan Prita sebagai pihak yang bersalah dan diwajibkan membayar uang denda sebesar 204 juta rupiah, dia hanya bisa pasrah. Meskipun ia juga pasti telah mengalami kerugian moral dan materil sejak kasus ini bergulir, Prita sepertinya sudah memutuskan untuk menyelesaikan kasus yang carut-marut ini. Dia cenderung lebih merasa bingung tentang bagaimana dia akan membayar denda sebesar itu dari pada memikirkan posisinya yang divonis bersalah.
Meskipun majelis hakin telah memutuskan bahwa Prita bersalah, akan tetapi berbeda dengan pendapat masyarakat luas yang memiliki pandangan bahwa keputusan itu tidak dapat diganggu gugat. Jadi, seluruh rakyat Indonesia sendiri mempunyai inisiatif untuk membantu Prita dalam membayar denda yang telah dibebankan kepada Prita dengan mengumpulkan uang koin atau lebih biasa disebut "KOIN PEDULI PRITA". Hampir seluruh lapisan masyarakat mengumpulkan uang koin ini demi Prita, baik dari lapisan bawah hingga para pejabat pun menyumbang dengan uang koin. Dari kepingan terkecil hingga kepingan terbesar. Akan tetapi Jaksa Penuntut Umum sendiri tetap ngotot mempenjarakan Prita. Dalam benak saya sendiri adalah, Mengapa Jaksa penuntut Umum itu tidak dapat berpikir jernih mana yang benar-benar dirugikan dan mana yang merugikan klien? Apakah ini yang disebut kebutuhan nafsu yang sebanding dengan ketidakadilan itu sendiri? Entahlah, jika memang ini adalah negara hukum lebih baik tegakkanlah hukum itu. Jika memang tidak bisa, mengapa harus ada hukum yang mengikat dan tidak dapat diganggu gugat???
Ada salah satu anggota masyarakat mengalami ketidakadilan dari sebuah lembaga. Mungkin bisa jadi ini adalah masalah prinsip keadilan dan ketidakadilan, antara kaya dan miskin, menyuap dan disuap. Ini menyebabkan masyarakat luas yang bertindak untuk mendukung adanya keadilan untuk korban dari para penegak ketidakadilan hukum. Kasus Prita adalah salah satu contoh dari banyak kasus ketidakadilan. Setelah pengadilan memutuskan Prita sebagai pihak yang bersalah dan diwajibkan membayar uang denda sebesar 204 juta rupiah, dia hanya bisa pasrah. Meskipun ia juga pasti telah mengalami kerugian moral dan materil sejak kasus ini bergulir, Prita sepertinya sudah memutuskan untuk menyelesaikan kasus yang carut-marut ini. Dia cenderung lebih merasa bingung tentang bagaimana dia akan membayar denda sebesar itu dari pada memikirkan posisinya yang divonis bersalah.
Meskipun majelis hakin telah memutuskan bahwa Prita bersalah, akan tetapi berbeda dengan pendapat masyarakat luas yang memiliki pandangan bahwa keputusan itu tidak dapat diganggu gugat. Jadi, seluruh rakyat Indonesia sendiri mempunyai inisiatif untuk membantu Prita dalam membayar denda yang telah dibebankan kepada Prita dengan mengumpulkan uang koin atau lebih biasa disebut "KOIN PEDULI PRITA". Hampir seluruh lapisan masyarakat mengumpulkan uang koin ini demi Prita, baik dari lapisan bawah hingga para pejabat pun menyumbang dengan uang koin. Dari kepingan terkecil hingga kepingan terbesar. Akan tetapi Jaksa Penuntut Umum sendiri tetap ngotot mempenjarakan Prita. Dalam benak saya sendiri adalah, Mengapa Jaksa penuntut Umum itu tidak dapat berpikir jernih mana yang benar-benar dirugikan dan mana yang merugikan klien? Apakah ini yang disebut kebutuhan nafsu yang sebanding dengan ketidakadilan itu sendiri? Entahlah, jika memang ini adalah negara hukum lebih baik tegakkanlah hukum itu. Jika memang tidak bisa, mengapa harus ada hukum yang mengikat dan tidak dapat diganggu gugat???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar