Oleh. Dian T Indrawan
Aku semakin yakin dan menyadari bahwa menjalani hidup sebagai kaum homoseksual seperti ini memang sangatlah susah. Mulai dari diskriminasi di lingkungan keluarga, sekolah hingga dijauhi oleh beberapa teman di bangku kuliah. Aku masih bimbang akan semua ini, apa hanya dengan “DIAM,” aku dapat menyelesaikan semua ini? Apa hanya selalu menerima cemooh dari teman-teman saja, terus masalah akan menjauh dariku?
“Indra, mereka semua berada disekelilingmu dan tahu tentang keberadaanmu.” Kata suara hatiku kepadaku.
“Apakah mereka tahu tentang diriku yang sesungguhnya? Aku yakin bahwa mereka itu hanya sok tahu tentang diriku.” Ungkapku dalam hati dengan sedikit emosi.
Hingga kini aku masih dilema dengan apa yang aku perbuat, walaupun acap kali taburan mutiara yang jatuh dari mahkota ratu selalu menemaniku di malam yang dingin dan sunyi, tetap sahaja mereka memperlakukanku seperti sampah. Sejak dahulu aku telah menyadari tindakan-tindakan diskriminasi dari semua kalangan. Mungkin sejak aku berada di bangku sekolah dasar. Aku pernah merasa menjadi orang yang baik di mata Mom dan Dad, namun aku bukanlah orang yang dapat dibanggakan di mata mereka. Zaman telah berubah, masa-masa remajaku sekarang telahku isi dengan penuh ratapan, merasakan yang sedang terjadi terhadapku, hingga aku tak dapat berekspresi dengan teman-temanku. Hati ini sakit jika di rasa, caci maki yang terlontar dari orang yang telah mengandungku selama sembilan bulan, melahirkanku, dan mengasuhku hingga kini.
“Mom, maafkanlah aku. Aku hanya ingin hidup dengan layak. Aku bukan bahan cacian, hinaan dan diskriminasi darimu. Aku telah bersabar dan mengerti tentang dirimu. Mom…. Kapankah kau dapat mengerti tentang diriku?”
Walau aku hidup tak sendiri, namun aku merasa bahwa aku sangat kesepian. Walau raga dan jiwaku dekat dengan mereka yang menyayangiku dan membenciku, tetapi perasaan yang keluar dari hati yang paling dalam, aku berada sangat jauh dari mereka. Aku ingin bahagia dengan jalanku sendiri dan aku selalu ingin membahagiakan mereka, walaupun mereka semua tak pernah menginginkanku. Hidup yang aku jalani ini memang berbeda antara pasti dan tak pasti. Diiringi tetesan air suci yang jatuh dari piala sang raja dan mengalir di setiap malam yang sepi, dingin dan penuh dengan selimut keraguan yang menutupi diriku. Ragu? Ya… semuanya memang penuh dengan keraguan. Setiap aku melangkah untuk mencapai cita-citaku, aku selalu merasa masih banyak ganjalan sehingga membuatku ragu. “Mom, Dad. Bolehkah aku menjadi seorang Jurnalis?” tanyaku pada Mom dan Dad untuk meminta restu untuk aku dapat menjadi seorang penulis berita di sebuah majalah remaja di kotaku.
“Boleh!” jawab mereka santai.
Akan tetapi apakah kata “BOLEH” itu memang 100% boleh, ataukah hanya sekedar 50% saja? Mungkinkah mereka tak bersungguh-sungguh merestuiku? Aku tahu mereka hanya sekedar setengah-setengah, tetapi aku ingin sekali aku mengerjakan sesuatu dengan optimal dan tidak dengan setengah-setengah seperti apa yang mereka lakukan terhadapku.
Ya! Memang, semua yang terdapat dalam hidupku kini diselimuti keraguan. Hidupku memang sangatlah susah dijalani. Maka, hanya dirikulah yang dapat menghapus rasa ragu dari kehidupanku. Kehidupan seorang mahasiswa yang penuh kebahagiaan, tak pernah terjadi dalam kehiduapanku sehari-hari. Aku berkorban banyak mulai dari masalah waktu, percintaan dan sosialisasi dengan masyarakat, demi mencari sesuatu yang pasti dan bukan sebuah keraguan. Semua ini membuatku terbebani, aku minder dan kadang iri dengan teman-temanku. Mengapa mereka dapat akur dengan orang tuanya? Aku hampir putus asa dengan apa yang terjadi terhadapku dan usahaku dalam mencari sesuatu yang pasti dalam hidupku yang belum pernah aku temui.
“Indra...., mengapa hidupmu penuh dengan lika-liku? Apakah karena kamu seorang homoseksual? Indra…., jujurlah pada hatimu tentang dirimu. Mengapa semua ini kau jalani? Indra…., hidup seperti ini begitu sulit bagimu? Apakah kau siap dengan konsekuensinya?” kataku dalam hati.
Memang hidup menjadi seperti aku sekarang ini tidaklah mudah, bagi keluargaku kaum homoseksual adalah wabah yang harus dimusuhi. Aku telah merasa dimusuhi sejak lama, saudara-saudaraku susah sekali menerimaku apa adanya. Tetapi aku tak pernah menyerah begitu saja dalam berjuang untuk hak asasiku di anggota keluarga dan masyarakat. Memang sampai detik ini aku sangat membenci orang yang memandang kaum homoseksual hanya sebelah mata saja. Tuhan, sampai detik ini aku masih ditemani oleh suara-suara bising terompet yang ditiup oleh raja-raja malam. Hingga kini aku masih merenungkan kehidupanku sekarang dan yang akan datang. Mengapa hatiku sampai saat ini belum dapat dekat dengan orang tuaku terutama Mom? Aku merasa kesepian, walau aku memiliki banyak teman seperti Ita, Atun, Dimas, Neni, Rosa, dan lainnya. Aku tak mungkin dapat menyebutkan mereka satu persatu karena mereka semua merupakan teman-teman terbaikku. Seandainya saja aku dapat bertanya, maka aku hanya akan bertanya kepada beliau satu hal.
“Mom, kapan engkau dapat mengerti diriku?”
Tangisan dan rintihanku selama ini tak dapat membuat hatiku senang dan lega. Memang keadaan ini sudah melekat lama pada diriku sehingga aku mulai kebal. Akan tetapi aku masih menginginkan hatiku dapat dekat dengan orang tuaku terutama Mom. Aku ingin sekali membahagiakannya walau dengan jalanku sendiri.
***
Konstruksi sosial yang menempatkan kaum sehati sebagai epidermis telah lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan keluargaku. Tak heran jika kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah stigma buruk (imagologi) yang sudah dilekatkan pada kaum homoseksual di seluruh dunia. Aku masih merasa heran hingga sekarang, konstribusi kaum sehati ini masih saja dikesampingkan karena sikap khawatir yang berlebihan terhadap kaum sehati ini yang terlanjur berurat dan berakar. Tentu saja hal ini sangat terasa sekali pada diriku. Dimana ketika aku ingin berkarya, berekspresi dan semua kegiatan yang positif, selalu saja Mom dan Dad memberikan suatu batasan. Dari yang itu merupakan masalah gender ataupun hal-hal yang lain yang semuanya dapat membuat semakin runyam keadaan. Apakah suatu pekerjaan itu memiliki jenis kelamin? Acap kali aku terlontar pertanyaan-pertanyaan konyol yang keluar dari otakku. “Apakah aku hanya dapat hura-hura menghabiskan uang dan nafsu belaka yang dapat aku kerjakan?”
Pertanyaan konyol itu langsung aku tepis karena kehidupan yang aku jalani tidaklah sama dengan orang lain pada umumnya. Banyak sekali orang bilang bahwa kaum sehati itu identik dengan hura-hura dan seks belaka. Namun pada kenyataannya banyak juga orang yang mengaku dia heteroseksual bertingkah melebihi kaum sehati seperti aku ini. Mereka bilang bahwa kaum gay itu banci, tak memiliki masa depan dan entah apa yang mereka pikirkan secara picik. Kegalauanku mulai muncul kembali ketika mendengar bahwa kaum homoseksual merupakan banci. Homoseksual bukanlah banci akan tetapi mereka miliki hati feminine dan orientasi seksual lebih mengarah pada sesama jenis. Keperihatinan yang aku alami ini adalah keprihatinan yang secara umum selalu dialami oleh kaum sehati. Keprihatinan yang berujung pada pandangan keliru masyarakat. Memang, persoalan kaum sehati merupakan persoalan golongan kecil dalam masyarakat. Itu sebabnya, mengingat jumlah mereka yang semakin besar dan sub-kultur, serta mereka semakin terbuka.
***
“Indra, kau dikodratkan menjadi seorang laki-laki yang dapat mencintai lawan jenis, mengapa kau berbuat seperti itu?” ujar spontan Rusdy (seseorang yang sangat dekat dengan Indra di club paduan suara).
“Menjadi seorang kaum homoseksual bukanlah suatu kodrat, pilihan hidup ataupun
Bukan berarti pernyataanku kepada salah satu temanku itu merupakan apologi (pembelaan diri) untuk diriku sendiri, namun aku ingin sekali mendudukkannya secara proporsional. Setidaknya untuk zaman sekarang, zaman yang sudah berkembang, mengglobal, dan mondial. Kegalauan hatiku saat ini dapat kulukiskan sebagai penderitaan yang menimpaku karena masyarakat kelas menengah yang membesarkanku sangat berstigma buruk terhadap homoseksualitas. Ini semua merupakan akibat dari efek romantisme budaya barat yang merembes ke
Saat ini adalah merupakan hal yang tepat untukku membuka diri dari semua kepura-puraan dan membuang semua yang pernah aku lakoni selama ini. Saat ini adalah tahun 2005, dimana kaum homoseksual semakin berani dan seolah menjunjung tinggi emansipasi kaum sehati dari berbagai cara, entah cara itu berupa seni, kebudayaan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kemudian dengan adanya semua itu, aku sendiri terinspirasi oleh gerakan yang sama. Aku seolah menemukan jalan keluar dari kemelut batin yang menimpaku di
Dalam kehidupan bermasyarakat terutama di
Akan tetapi masalah yang sekarang sedang aku hadapi disini adalah mengenai pandangan masyarakat bahwa homoseksual merupakan penyimpangan psikologis maupun norma sosial. Pandangan ini jelas berasal dari Barat yang muncul bersamaan dengan perkembangan peradaban borjuis abad ke-19, dimana psikologi punya pengaruh luas termasuk di kalangan kelas menengah di
Selain itu juga kaum sehati juga di cap sebagai penyebar virus HIV/AIDS. Memang awal mulanya di Amerika, HIV/AIDS muncul dari kalangan pria homoseks. Di kalangan Kristen Ortodoks penyakit ini dianggap sebagai laknat Tuhan atas orang-orang homoseksual dengan moral bejat dan perilaku semburit yang sulit diperbaiki. Tetapi pada akhirnya Dede Oetomo berani menuliskan pada bukunya yang berjudul “Memberi Suara pada yang Bissu” ini menyatakan bahwa penyakit tersebut juga meraja lela di kalangan heteroseksual. Jadi, penyakit ini meraja lela bukan karena perilaku semburit di kalangan kaum homo melulu. Dari hasil penelitian secara medis telah membuktikan bahwa perilaku seksual yang tidak aman atau perilaku seks dengan bergonta-ganti pasangan di kalangan heteroseks dan pemakaian jarum suntik serampangan di kalangan pemadat narkoba merupakan factor utama tersebarnya virus HIV/AIDS.
***
Menurut pandanganku di Indonesia, tempat ikatan keluarga, khususnya hubungan anak dengan orang tua masih kuat, dan perkawinan merupakan suatu keharusan yang alamiah, antipati terhadap kaum homo tak jarang dilakukan, sehingga justru menghancurkan kehidupan anak muda homoseksual. Sesungguhnya kaum homoseks menderita dan tersiksa dikarenakan adanya diskriminasi umum dan ancaman kelompok politik serta keagamaan yang sangat membenci mereka. Peluluhlantahan perhelatan kaum homoseksual, kerlap-kerlip lampu kedaton yang terjadi di Kaliurang, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pembubaran kongres kaum homoseksual di Solo beberapa tahun silam oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, merupakan suatu kejadian yang di pandang sangat memprihatinkan oleh kaum gay (J Sumardianta, 2001) Memang hidup yang aku alami ini banyak sekali lika-liku sulit yang perlu dihadapi dengan besar hati. Serta aku hanya mengharapkan kepada seluruh masyarakat awam, janganlah menjadi orang yang asal setuju bahkan menolak atas semua kegiatan yang mereka kerjakan termasuk diriku sendiri tanpa ada dasar yang memadai. Namun jadilah orang yang dapat membiasakan diri untuk dapat bersikap a posteriori bukan a priori.[*]
kita juga punya nih artikel mengenai 'Homophobia dan Kita', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2715/1/Homophobia20dan20Kita014.pdf
trimakasih
semoga bermanfaat