22 Mei 2009

Teka-teki Down Live part 2

Down Live : Indra Kaswali[1]

Oleh: Dian T Indrawan

Indra adalah seorang homoseksual yang lahir dua puluh tiga tahun yang lalu di kota pelajar. Semasa balita, ia selalu mendapatkan dorongan secara materi oleh orang tuanya. Namun semenjak dia menginjak ke bangku sekolah dasar, Indra kecil selalu mendapatkan tekanan dari keluarga sehingga membuat mental dan psikologinya tertekan. Tak hanya dari keluarganya, ia juga selalu di cemooh oleh teman-teman sekolahnya yang selalu mengucilkan dirinya yang lemah. Indra bukan seorang yang lemah dari segi energi namun dia seorang yang memiliki lemah pada mentalnya yang dikarenakan banyak tekanan dari berbagai pihak.

“Indra banci, Indra banci, Indra banci…..” kata-kata itu selalu terdengar ketika ia bermain dengan teman-teman sebayanya. Hatinya sangat sensitif pada saat itu, terlebih banyak tekanan dari orang tuanya yang menganaktirikan.

“Lanang kok koyo wedhok! Dadi wong lanang ki ojo seneng nari (laki-laki kok seperti perempuan! Jadi laki-laki itu jangan suka menari)” itu semua terlontar dari kakaknya yang menganggap seni tari hanya milik perempuan. Akan tetapi cemoohan yang biasa terlontar dari mulut kakaknya itu tidak dapat mengubah suasana hati Indra yang semakin buruk. Waktu yang terus berjalan mengiri langkahnya dalam menghadapi cobaan yang terus menerpanya. Dia sebenarnya orang yang sangat ramah dan supel namun karena banyak tekanan dan diskriminasi dari berbagai pihak, Indra kecil ini semakin terpuruk mentalnya. Keceriaan baginya adalah dusta, dan cinta adalah air mata. Dalam kesendirian, ia selalu merenungi nasibnya. Akan tetapi dia sendiri selalu menangis dalam hati yang penuh luka. “Tuhan, apa yang sebenarnya kesalahanku? Bukankah aku adalah umat-Mu juga? Aku tak tahu apa yang salah dalam diriku ini. Aku bukan banci. Aku menari karena aku suka dengan seni yang membuatku lupa akan semua yang mencaciku, menghinaku dan mendiskriminasiku walaupun hanya terlupakan sejenak. Tuhan, mengapa Engkau mengujiku seperti ini?” Kata Indra yang saya kutip dari buku hariannya dan atas izinnya.

Ketika Indra menginjak kelas empat sekolah dasar, semakin banyak rintangan yang menerpa dirinya. Orang tuanya makin banyak permintaan dan keinginan yang tak mungkin dapat dilakukan sekaligus dan secara cepat. Dari tahun ke tahun dilaluinya dengan penuh kejenuhan akan tekanan-tekanan yang ia dapatkan dari berbagai pihak. Indra pun merasa iri terhadap kakak-kakaknya yang diperlakukan lebih baik dari pada dirinya. Pada akhirnya dia menemukan satu belahan jiwa dia ketika ia duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP). Sebut saja dia Sulis. “Bagiku Sulis itu bak pangeran berkuda putih yang datang menghampiriku ketika aku mendambakan seseorang yang dapat menerimaku apa adanya.” Jelas Indra kepadaku.

Aku sendiri sempat tersentak kaget mendengar hal itu. Dia pun melanjutkan cerita tentang kisah cintanya dengan Sulis yang menurutnya Indra dipertemukan oleh Tuhan ketika dirinya dan Sulis sedang liburan ke pulau dewata. Memang banyak orang bilang bahwa pulau dewata mengandung kesan tersendiri bagi yang merasa cinta pertama seperti ketika Indra merasakan hal itu di sana, yang terpenting dalam kehidupan Indra ketika itu adalah sesuatu yang dapat membelah kesadarannya dengan sebuah percikan api asmara yang menyinari jiwa yang sedang membara. “Dian, aku kok jadi bingung tentang kejadian itu, hingga kini aku masih mempertanyakan apakah semua itu catatan magis dari hati manusia?” Tanya Indra kepadaku tentang perasaannya pada waktu itu.

Yang kurasa saat ini adalah membayangkan tentang perasaan Indra pada waktu itu seolah seperti sang jiwa yang digerakkan di atas permukaan air dan menjadi teman hidup yang menggemakan kata-kata-Nya. Kuakui sikap yang Indra lakukan harus dapat diacungi jempol, karena jarang sekali seumur anak SMP berani menerima cinta seorang pria sebayanya sebagai seorang kekasih. Indra selalu saja memuji Sulis ketika dia teringat dengan kenangan manis bersama Sulis. Dalam pikirannya, Sulis adalah seseorang yang telah membawa sepucuk cinta dari mahkota raja yang melambangkan akan kesetiaan dan kebersamaan. Banyak yang bilang tentang kepribadian Indra yang susah di tebak, susah tuk dimengerti, dan banyak sekali kepura-puraan dalam diri Indra. Akan tetapi setelah kami bicara dan bertemu beberapa kali ini, pendapat tentang kepribadian Indra itu salah besar. Indra mudah sekali dimengerti. Dari kepura-puraannya selama ini adalah satu bentuk sikap untuk penjagaan dirinya yang selama ini selalu tertekan oleh berbagai pihak yang terjadi cukup lama.

Semua yang dialami Indra ketika itu dibiarkan berjalan seperti air yang mengalir. Dan dalam pikiran dia hanyalah pertanyaan-pertanyaan konyol yang dapat menjawab hanyalah dirinya sendiri. Beban yang telah membebaninya membuat kehidupannya semakin dipenuhi lika-liku yang tak pasti dimana ujungnya. Memang dari sekian banyak beban yang Indra pendam merupakan suatu ujian dari Tuhan walaupun kepura-puraannya sebagai tameng yang bukan untuk melindungi dirinya melainkan sebagai alat untuk menutupi jati diri bahkan kehidupan asmaranya. Ternyata hubungan spesial antara Sulis dan Indra dipenuhi kebahagiaan selayaknya pasangan heteroseksual. Dimana ada Indra pasti disana ada Sulis yang selalu disamping Indra. “Ada yang harus kamu ketahui, Dian. Ada satu kejadian yang sedikit menggelikan jika harus mengingatnya, karena setiap hari Sulis itu selalu menelponku sekitar satu hingga dua jam setiap harinya.” Ungkap Indra dengan penuh malu.

Ternyata kebahagiaan yang dialami oleh bersama kekasihnya tak berjalan mulus, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berpisah walaupun mereka masih saling cinta. “Jujur ya, aku dengan Sulis sampai saat ini masih miliki rasa. Akan tetapi Tuhan berkata lain, dan aku harus berpisah. Sulis memang baik tapi semua dugaanku yang dulu adalah hampir 100% benar tapi ternyata dia telihat busuk juga.” Kata Indra dengan sedikit kesal dengan Sulis ketika menceritakan kembali tentang keputusan Indra untuk putus hubungan dengan Sulis. Perpisahan Indra dengan Sulis memang tragis, pasalnya Sulis yang dulu menjadi pangeran Indra harus beralih pada hati seseorang yang jelas-jelas telah menjadi perusak hubungan Indra dengan Sulis yang tak lain salah satu sahabat dari Indra sendiri.

“Dian, sebenarnya aku tidak rela kalau dia harus mencintai seorang perempuan, aku akan rela kalau dia dapat mencintai seorang pria lain.” Ungkapan Indra ketika curhat kepadaku. Menurutku tindakan Indra yang seperti itu aku anggap memang tindakan yang wajar karena dia tidak ingin hubungan itu terpecah belah karena seorang sahabatnya mencintai seseorang yang dikira heteroseksual tapi dalam kenyataannya dia adalah seorang homoseksual. Lebih parah lagi, Sulis hanya menganggap hubungannya dengan sahabat Indra hanya sebatas untuk formalitas semata. Aku sendiri sangat terharu mendengar cerita Indra, bahwa perempuan sebenarnya harus dihargai tapi kenapa masih banyak pria-pria diluar sana lebih suka mempermainkan hati seorang perempuan? Dari sudut pandang Indra, pada saat itu Sulis seperti tiang yang terlihat bak raksasa pada pergantian malam. Entah apa yang t’lah difikirkannya ketika menghadapi cobaan seperti itu. Sebulan berjalan, Indra yang biasanya terlihat gembira dan penuh dengan canda, semakin terlihat murung dan semakin rapuh. “Dian, andaikan aku mengenalmu lebih lama dan kamu tahu kejadian sesungguhnya, pasti kamu akan tahu apa makna cinta yang sesungguhnya. Aku hanya dapat berkata dalam hati, dimana engkau, dimanakah engkau?“ Jelas Indra kepadaku.

Ketika rahasia menyayat hati, ketika mata mulai merah, tulang-tulang rusuk hampir retak tersembunyi dalam dada, hingga manusia tak dapat menemukan kenyamanannya lagi kecuali dalam kata-kata dan keluhan yang selalu terucap di setiap malam yang dingin. Keadaan inilah yang dirasakan oleh Indra saat Sulis menyatakan perasaan palsunya pada sahabat perempuan Indra. “Memangnya ‘dia’ itu siapa sih?” tanyaku penasaran tentang sahabat perempuan Indra itu.

“Siska” Terang Indra.

Perasaan kecewa, sedih, dan cemburu bercampuk aduk menjadi satu. “Dian, awalnya aku tak dapat menerima keputusannya, namun akhirnya aku mulai menemukan pelipur lara dalam kata-kata panjang dalam hidupku. Dan aku merasa seperti orang kelaparan yang dikendalikan oleh rasa sakit dan memohon pertolongan kepada sahabatnya sendiri yang tak menghiraukan keadaan diriku sendiri.” Ungkap Indra. Yang membuatnya semakin rapuh jika Indra mulai terbebani oleh fikiran tentang arti hidup. Bagi Indra, arti hidup ini masih saja kelabu. Faktor ini datang karena adanya tekanan-tekanan dari luar diri Indra. Bagi orang tua Indra yang selalu menganggap bahwa Indra adalah seseorang anak yang tidak berguna bahkan tidak dapat bertanggung jawab. Apapun usaha Inadra selalu saja tak dianggap oleh orang tuanya. Pandangan orang tua Indra yang menurutku adalah suatu tindakan yang terlalu picik menyatatakan bahwa homoseksual bukanlah suatu kodrat akan tetapi homoseksual adalah suatu bentukan dari lingkungan sekitar.

Tapi dalam dirinya memiliki prinsip yang kuat, yaitu dengan adanya banyak tekanan dan diskriminasi dari berbagai pihak membuat Indra tak putus asa dan hanya diam saja dalam menjalani hidup. Indra sadar bahwa hidupnya ini tak berwarna putih bahkan tak berwarna hitap pekat, melainkan hidup menjadi homoseksual seperti Indra ini berada dalam kehidupan yang serba abu-abu. “Dian, kamu harus memahami bahwa cinta, dan kehidupan yang fana ini seperti filosofi coklat, yang pekat tapi nikmat. Jika aku telusuri kembali jejak yang telah aku tempuh. Aku melihat sekat-sekat yang menjeda dalam memoriku? Seperti membagi kisahku dalam butiran nikmat yang cepat terlumat. Bukankah tetap ada noda lekat yang selalu terlihat nikmat? Seperti duka yang selalu membuat kita tetap berharap ada. Coklat itu candu. Seperti khayalan, coklat menghadirkan memori semu tentang rasa, jiwa ataupun raga. Masih teringat kapan aku menikmati rasa, jiwa atau raga? Seperti letupan almond yang meritme dalam komposisi yang tak pernah pasti. Alur yang membuat kita merasa perkasa, pasrah dan lega. Coklat itu ejakulasi.

Layaknya tangis sendu. Sebuah rahasia yang tak pernah terjamah, terbungkus rapi dalam dosa sepi. Seperti bungkus coklat yang menutupnya rapat. Tak disisakan ruang angin untuknya, angin hanya bisa menyebarkan dusta, dan coklat meleleh karenanya. Waktu selalu melarutkan nestapa. Coklat itu rindu yang selalu dapat dinikmati. Mengapa juga coklat selalu berwarna coklat? Mengapa tidak ada kontradiksi, tak ada kontroversi seperti hidupku? Coklat memang murni, coklat putih? Itu bukan coklat.... Coklat tak pernah ada yang berwarna putih. Coklat itu nurani, dia berkata jujur tentang dirinya sendiri. Apa kamu suka coklat, Ian? atau kamu tipe orang naif yang menyingkirkanya dari nafsumu karena ketakutan? Dia dapat membuatmu menggelembung dalam bulatan lemak, atau ketakutan akan rapuh dari tiap biji dari gigimu? Sebegitu berbahayakah coklat bagimu? Jangan pungkiri, betapa kamu tak menginginkannya, tapi tetap saja dia merasa sempit di dalam benakmu. Awas coklat itu laten. Aku suka coklat, sepeti halnya lebih dari separuh manusia di dunia ini suka coklat. Coklat itu teduh, coklat itu nyaman, coklat itu tenang. 

Kadang coklat dapat menyembuhkan luka, kadang pula dia menjadi panah Amor, yang dapat menembus inti rasa dari manusia, coklat sangat kompleks. Coklat adalah perasaan, coklat itu diri kita.... Eksistensi yang kadang sulit untuk diterjemahkan, karena dia rasa. Seperti Adam dan Hawa, coklat tak pernah membuatnya terbuang dari surga. Coklat itu bijak, coklat itu perkasa, seperti penantian akan rasa. Coklat bukan hanya coklat, coklat adalah perasaan dalam kemasan....” jalasnya panjang lebar kepadaku hingga aku salut kepadanya yang begitu tegar menghadapi segala rintangan hidup.

Dalam keseharian Indra, lebih memberikan pelajaran berharga kepada semua manusia baik itu yang berorientasikan homoseksual (gay dan lesbian), biseksual, transgender/seksual, ataupun yang heteroseksual. Paling yang tidak dapat terlupakan oleh Indra, ketika dia mulai menjajaki dunia Internet. Tepatnya tanggal 14 Februari, ketika itu Indra bersama pengurus osis di sekolahnya mendapat tugas untuk dapat mengikuti seminar pelajar yang diadakan oleh salah satu lembaga yang menangani malah hak-hak reproduksi remaja ternama di kotanya. Dia sendiri sangat bersemangat dalam mengikuti seminar remaja yang mengangkat tema Penurunan Resiko Terjangkitnya HIV/AIDS di salah satu universitas yang biasa disebut dengan kampus biru. Indra sangat antusias mengikuti seminar tersebut karena dalam hatinya berkata, “miris sekali jika dirasa, anak-anak yang terlahir secara normal harus terkena dampak dari perbuatan orang tuanya, yatiu banyak anak-anak yang terlahir secara normal tetapi akhirnya harus terjangkit virus mematikan itu.”

Sepulang dari seminar Indra, dan salah satu teman sekelompoknya itu pun pulang bersama-sama. Yang paling sedikit lucu, Indra yang terkenal gaul ternyata dia tidak dapat mengakses internet. Akhirnya dia pun mulai mempelajari dari seorang teman yang pulang bersamanya. “Saat itu aku bilang sama temanku, sebut saja dia Vicky. Vic, ajari aku internet dong. Ya terutama chatting.... dan saat itu pulang wajah Vicky berubah entah mungkin dia merasa heran kepadaku... masa seorang Indra tidak bisa mengoprasikan internet? Tapi Vicky berbeda dengan teman-teman yang lain, dia berhati baik dan mau membantu orang yang sedang ingin belajar. Ya akhirnya Vicky yang mengajariku Internet dan chatting, Ian.“ Ungkap Indra kepadaku saat kita berdua nongkrong disebuah restaurant. Beberapa hari kemudian menurut keterangan dari Indra, dia mulai menjelajahi Internet baik dari chatting hingga browsing segala informasi tentang homoseksualitas dirinya. Dari chattinglah Indra yang dulu dapat terbilang buta akan informasi kehidupan homoseksual, sedikit demi sedikit dia mulai mengerti akan kehidupan yang sebenarnya. Banyak hal yang didapatkan olehnya dari bergaul di dunia maya itu. Baik pengetahuan akan homoseksualitas yang dimiliki oleh Indra hingga forum pertemanan online sehingga dia sendiri tak merasa sendiri.

Perjuangan Indra tak berakhir disini, walaupun ia adalah seorang homoseksual namun Indra sendiri masih merasa bingung ketika dirinya mengalami depresi ringan yang dikarenakan berbagai teror dan ancaman diterimanya ketika dia hendak menghindar dari komunitas LGBT. Ketika Ia menghadapi masalah yang pada saat itu menurutnya sangat berat, Indra pun berfikir dan mulai bertanya pada hatinya. “Mengapa mereka selalu meminta untuk penghapusan stigma buruk terhadap teman-teman sehati seperti diriku ini? Tapi dalam kenyataannya mereka pula yang membuat stigma itu. Meraka selalu berkata ’Kami bukan penyakit, kami tak sakit, kami tak terganggu jiwanya’ tapi mereka sendiri terlalu picik atas semua ucapannya itu. Lalu apa yang sekarang harus diperjuangkan oleh mereka????” 

Indra kini masih tetap berkeinginan untuk diam walau hati masih berontak. Walaupun kini ia masih merasa dirinya sakit akan homoseksualitasnya. “Dra, lalu apa rencanamu sekarang? Apakah kamu akan tetap diam? Akankah dirimu tetap ingin ikut-ikutan sakit tentang semua ini?” tanyaku pada Indra saat kami duduk berdua disalah satu angkringan di bilangan Patehan, Yogyakarta.

”Dian, andai saja mereka bilang kepadaku aku sebagai ego-distonic, akukan menjawab, Kalian sendiri tak merasa, apa yang telah kalian perbuat kepadaku hingga aku menjadi seperti ini? Dan seandainya mereka tetap saja cuek kepadaku, akukan berkata ’Dasar mereka itu hanya mulut besar tanpa ada perilaku yang mencerminkan perjuangan mereka.’ Selain itu aku tak hanya akan diam begitu saja, dra. Aku telah melaporkan kepada yang berwajib tentang masalah tindakkan ancaman dan pencemaran nama baik.”

(Versi lengkap ada di buku Downlive, halaman 71. Jangan lupa beli bukunya ya.....)

[1] Seorang homoseksual yang pernah merasa sakit akan kehomoseksualitasnya (ego-distonic,red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
SPOT ABU-ABU - Free Blogger Templates, Free Wordpress Themes - by Templates para novo blogger HD TV Watch Shows Online. Unblock through myspace proxy unblock, Songs by Christian Guitar Chords